Judul : The Wind
Leading to Love
Penulis : Ibuki
Yuki
Penerjemah:
Mohammad Ali
Penerbit :
Penerbit Haru
Tahun Terbit :
2015
Cetakan : Pertama
Spesifikasi : 20
cm, 342 halaman
Jumlah Bab : 7
(beserta prolog dan epilog)
Harga : Rp.
65.000,-
Durasi Baca : 24-25
Desember 2015
Kepemilikkan :
Milik Sendiri
Rate : 4.25 of 5
^^
.
.
.
..
.
Sinopsis;
Rasa sakit itu merupakan
bukti kalau kita masih hidup.
Suga Tetsuji depresi.
Menuruti saran dokter, dia
mengasingkan diri di sebuah kota pesisir, di sebuah rumah peninggalan ibunya.
Namun, yang menantinya bukanlah ketenangan, tapi seorang wanita yang banyak
omong dan suka ikut campur bernama Fukui Kimiko.
Fukui Kimiko kehilangan anak
dan suaminya, dan menyalahkan dirinya sendiri sebagai penyebab kematian mereka
berdua. Dia menganggap dirinya tidak pantas untuk berbahagia.
Setelah menyelamatkan
Tetsuji yang nyaris tenggelam, Kimiko menawarkan bantuan pada pria itu untuk
membereskan rumah peninggalan ibunya agar layak dijual. Sebagai gantinya,
wanita itu meminta Tetsuji mengajarinya musik klasik, dunia yang disukai
anaknya.
Mereka berdua semakin dekat,
tapi…
.
.
“Siapa yang tidak merasa heran melihat
seorang murid teladan membeli ayam goring dan hamburger dengan jumlah yang
tidak mungkin habis termakan, lalu membuangnya begitu saja? Apa yang terjadi?
Kau ini cerdas dan punya segalanya, tapi kenapa sedikit pun tidak terlihat
bahagia?” (p. 35)
Di sebuah rest area menuju
Miwashi, mobil yang mengantar Suga
Tetsuji kemudian ditumpangi oleh Fukui
Kimiko. Walaupun enggan, namun karena mobil tersebut adalah milik kenalan
perempuan itu, ia tidak bisa menolak. Tetapi sepertinya hal itu adalah
kesalahan karena perempuan itu tidak berhenti bertanya dan membuat
perjalanannya menjadi tidak tenang. Setelah mengantarkan Kimiko ke tujuannya,
mobil tersebut pun mengantarkannya ke rumah peninggalan ibunya yang beberapa
lalu meninggal dunia dan kini harus diurusnya. Rumah dimana ia akan
menghabiskan waktu cuti enam minggu untuk berlari dari masalah dan tekanan yang
ada.
“Anu, aku tahu kau memiliki
masalah yang tidak ringan. Tapi saat ada di sini, lupakanlah semua masalah itu.
Kembalilah seperti Tetsuji di masa kanak-kanak dulu. Lagi pula ini kan rumah
ibumu. Aku saja yang tidak memiliki hubungan apapun dengan ibumu selalu merasa
seperti kembali menjadi anak SD.” (p. 98)
Namun, karena tekanan psikologis yang melandanya, ketika melihat laut
di dekat rumah itu, Tetsuji pun menghampirinya dan nyaris tenggelam. Untung
saja ada seseorang yang menolongnya, perempuan di rest area tersebut, Kimiko. Melihat keadan Tetsuji yang tidak
berdaya, Kimiko pun menolong lelaki itu dan mengurusnya. Perempuan itu pun
mengurusnya dengan baik. Keesokan harinya, Kimiko kembali datang untuk
mengembalikan baju yang ia pinjam dan pada saat itulah ia melihat koleksi kaset
musik klasik. Sebuah ide pun muncul dalam benak Kimiko; ia akan membantu lelaki
itu untuk membersihkan dan mengurus rumah peninggalan tersebut asalkan Tetsuji
mau mengajarkannya mengenai musik klasik—dunia yang dulu disukai mendiang
anaknya.
Apa yang bisa membahagiakan
dan membuat seorang yang pendiam seperti ini tertawa? Apa yang disukai dan bisa
membuat pria ini senang? (p. 106)
Keberadaan Kimiko di rumah tersebut kemudian membuat Tetsuji
perlahan-lahan membuka dirinya kembali. Sifat Kimiko yang riang dan hangat
membuat Tetsuji bisa akrab dengan perempuan itu. Selain itu, Kimiko yang ulet
pun berhasil membuat rumah semenanjung peninggalan ibunya pun nampak semakin
rapi dari hari ke hari. Sebaliknya, keberadaan Tetsuji yang tidak pernah
mencela Kimiko membuat perempuan itu merasa nyaman. Sekalipun ia tidak mengerti
musik klasik sama sekali, lelaki itu dengan sabar memperkenalkan satu per satu
koleksi musik klasik tersebut. Tetsuji membawa Kimiko merasa lebih dekat dengan
sang anak. Perlahan-lahan, mereka pun mengetahui satu sama lain lebih dalam.
Tetsuji mengetahui bahwa Kimiko kehilangan anak dan suaminya dan hal tersebut
ada hubungannya dengan Kota Miwashi ini. Akan tetapi, hubungan yang semakin
baik itu pun mendapat konflik ketika Rika,
istri Tetsuji, datang untuk menjenguk sang suami.
“Dua belas tahun aku
merawatnya, menganggapnya milikku yang amat sangat berharga, lebih dari apapun
di dunia ini. Tapi kata-kata terakhir yang keluar dari mulutnya adalah ‘kenapa
keluargaku harus seperti ini?’. Apa yang salah? Apa yang harus kulakukan agar
kesalahan itu bisa kutebus? Berkali-kali aku terus memikirkan hal itu. mungkin
kesalahan itu ada pada diriku sendiri. Tapi aku tidak mengerti.” (p. 187)
Kedatangan Rika
membuat Tetsuji menyadari bahwa ia memiliki rumah untuk pulang dengan seorang
istri dan anak perempuan yang menunggu. Ia sudah sembuh dari depresi yang
melandanya dan urusan rumah semenanjung milik mendiang ibunya pun sudah dijual.
Lalu, bagaimana dengan hubungan Tetsuji dan Kimiko? Akankah lelaki itu meninggalkan
Miwashi untuk kembali ke keluarganya atau tetap tinggal dengan Kimiko di
Miwashi yang telah mengembalikan sebagian dirinya yang dulu ia anggap sudah
hilang?
.
.
.
.
Apakah ia akan menjalani hidup ke depan
dengan selalu diselimuti kenangan musim panas itu? Rasanya seperti mengenang
orang yang telah tiada.(p. 285)
.
.
Baca
selengkapnya pada novel The Wind Leading to Love karya Ibuki Yuki ini! ^^
.
.
Depresi adalah suatu hal yang pastinya pernah melanda setiap manusia.
Hal tersebut bisa datang dari kekecewaan, tekanan, kegagalan maupun hal negatif
lainnya. Bukan tidak mungkin depresi bisa berujung pada upaya untuk mengakhiri
hidup.
Hal tersebutlah yang terjadi pada novel The Wind Leading to Love.
Masalah berat yang menimpa Tetsuji membuat dirinya depresi dan hampir membunuh
dirinya sendiri dengan tenggelam di lautan. Namun, pertolongan dari Kimiko
telah menyelamatkannya. Dari sanalah cerita berawal dan perkembangan hubungan
Tetsuji dan Kimiko pun berlanjut.
Dari segi alur, walaupun tergolong cenderung lambat, namun sesuai
dengan nuansa mellow yang dibawakan. Penulisan cerita yang disertai banyak
deskripsi mengenai setting tempat maupun perasaan tokoh pun membuat pembaca
bisa membayangkan cerita ini dengan baik. The
Wind Leading to Love yang merupakan J-Lit (cerita terjemahan dari Jepang) karya
Ibuki Yuki ini bisa membawa pembacanya hanyut pada musim panas di Miwashi. Saya
sendiri merasa bisa membayangkan bagaimana indahnya kota tersebut hanya dengan
membaca deskripsi yang dituliskan dalam novel ini.
Penokohan yang berbeda antara Tetsuji dan Kimiko membuat chemistry tersendiri. Kimiko yang
periang, hangat, dan memiliki sifat inferior memiliki interaksi yang menarik
dengan Tetsuji yang pendiam, agak ketus
namun selalu berpikir objektif. Pada awalnya, saya tidak sadar bahwa keduanya
diceritakan sudah berumur 30-an dan ketika mengetahuinya saya cukup kaget.
Walaupun begitu, interaksi mereka tetap menarik. Dalam ringkasan cerita di atas
saya tidak mencantumkan keseluruhan tokoh seperti putri Tetsuya, Yuka, Shun,
Madam, Mei dan lainnya, namun tokoh-tokoh pelengkap itu memiliki peran yang
cukup membantu dalam membangun alur cerita.
Satu hal yang sangat saya sukai dari novel ini adalah bagaimana Ibuki
Yuki membangun hubungan Tetsuji dengan Kimiko dengan cara yang sesuai dengan
umur tokoh tersebut. Saya tidak merasakan gejolak khas anak muda dalam hubungan
mereka, namun sikap yang lebih dalam dan dewasa berhasil saya tangkap dari
hubungan mereka. Saya juga menyukai bagaimana musik klasik bisa membuat mereka
semakin dekat. Untungnya saya sedikit familier
dengan La Traviata (yang cukup sering disebut) hingga setidaknya bisa
memahami obrolan mereka mengenai musik klasik.
Konflik besar yang muncul di akhir menurut saya menjadi kekurangan
dari cerita ini karena menurut saya konflik memiliki peranan penting untuk
membuat pembaca tetap ingin membaca. Walaupun begitu, penulis mungkin memang
menekankan pada pembangunan hubungan di antara dua tokoh utama. Terlepas dari
hal tersebut, membaca novel ini merupakan pengalaman yang cukup menyenangkan.
Saya harap bisa membaca karya Ibuki Yuki yang lain. Dari novel ini saya
mendapatkan nilai bahwa terkadang, kita perlu melepaskan hal-hal yang membuat
kita tetap berjalan di tempat.
.
.
.
Baiklah, sekian review novel The
Wind Leading to Love dari
saya!
Tertarik untuk
membaca novelnya? BURUAN BACAAA! :”)))))
Sudah membacanya?
Yuk atuh kita FANGIRLING-an! :”)))))))))))
.
.
.
“Hidup yang selalu minta
maaf itu tidak baik, kan? Padahal kau tidak melakukan kesalahan sedikit pun.
Jangankan melakukan kesalahan, kau bahkan memperhatikan sekelilingmu dengan
cukup baik. Kau itu seharusnya marah.” (p. 120)
.
.